Minggu, 22 Mei 2011

Operator Telekomunikasi, Informasi, Media dan Edutaintment (TIME)

0 komentar
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (“TELKOM”, ”Perseroan”, “Perusahaan”, atau “Kami”) merupakan Badan Usaha Milik Negara dan penyedia layanan telekomunikasi dan jaringan terbesar di Indonesia. TELKOM menyediakan layanan InfoComm, telepon kabel tidak bergerak (fixed wireline) dan telepon nirkabel tidak bergerak (fixed wireless), layangan telepon seluler, data dan internet, serta jaringan dan interkoneksi, baik secara langsung maupun melalui anak perusahaan.
Sebagai BUMN, Pemerintah Republik Indonesia merupakan pemegang saham mayoritas yang menguasai sebagian besar saham biasa Perusahaan sedangkan sisanya dimiliki oleh publik. Saham Perusahaan diperdagangkan diBursa Efek Indonesia (“BEI”), New York Stock Exchange (“NYSE”), London Stock Exchange (“LSE”) dan Tokyo Stock Exchange (tanpa listing).
Untuk menjawab tantangan yang terus berkembang di industri telekomunikasi dalam negeri maupun di tingkat global, kami bertekad melakukan transformasi secara fundamental dan menyeluruh di seluruh lini bisnis yang mencakup transformasi bisnis dan portofolio, transformasi infrastruktur dan sistem, transformasi organisasi dan sumber daya manusia serta transformasi budaya. Pelaksanaan transformasi ini dilakukan dalam rangka mendukung upaya diversifikasi bisnis TELKOM dari ketergantungan pada portofolio bisnis Legacy yang terkait dengan telekomunikasi, yakni layanan telepon tidak bergerak (Fixed), layanan telepon seluler (Mobile), dan Multimedia (FMM), menjadi portofolio TIME (Telecommunication, Information, Media and Edutainment). Konsistensi kami dalam berinovasi telah berhasil memposisikan Perusahaan sebagai salah satu perusahaan yang berdaya saing tinggi dan unggul dalam bisnis New Wave.
Komitmen kami untuk mendukung mobilitas dan konektivitas tanpa batas diyakini akan meningkatkan kepercayaan pelanggan ritel maupun korporasi terhadap kualitas, kecepatan, dan kehandalan layanan serta produk yang kami tawarkan. Hal itu terbukti dengan kontinuitas peningkatan di sisi jumlah pelanggan kami, yakni mencapai 120,5 juta pelanggan per 31 Desember 2010, atau meningkat sebesar 14,6%. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8,3 juta pelanggan merupakan pelanggan telepon kabel tidak bergerak, 18,2 juta pelanggan telepon nirkabel tidak bergerak, dan 94,0 juta pelanggan telepon seluler.

e-Rekrutmen

Laporan Keberlanjutan

IFRS

Kinerja Layanan Jaringan Telepon Tetap

Senin, 21 Maret 2011

Sejarah Penggunaan Uang di Dunia Islam

0 komentar
Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo

dakwatuna.com – Dalam khazanah hukum Islam, terdapat beberapa istilah untuk menyebut uang; Dawud (1999, 3) dan Syabir (1999, 175) menyebutkan antara lain nuqud (bentuk jamak dari naqd), atsman (bentuk jamak dari tsaman). Dilihat dari sudut bahasa, menurut Al-Ashfahani (1961,82) atsman memiliki beberapa arti; antara lain qimah, yakni nilai sesuatu, dan “harga pembayaran barang yang dijual” yakni sesuatu dalam bentuk apa pun yang diterima oleh pihak penjual sebagai imbalan dari barang yang dijualnya; sedangkan dalam tataran fiqih, kata itu digunakan untuk menunjukkan uang emas dan perak; demikian juga fulus (bentuk jamak fals) Fulus digunakan untuk pengertian logam bukan emas dan perak yang dibuat dan berlaku di tengah-tengah masyarakat sebagai uang dan pembayaran, sikkah (bentuk jamaknya adalah sukak) dipakai untuk dua pengertian; pertama, stempel besi untuk mencap (mentera) mata uang, dan kedua, mata uang dinar dan dirham yang telah dicetak dan distempel, dan ‘umlah yang memiliki dua pengertian; pertama, satuan mata uang yang berlaku di negara atau wilayah tertentu, misalnya ‘umlah yang berlaku di Yordania adalah Dinar dan di Indonesia adalah Rupiah; kedua, mata uang dalam arti umum sama dengan nuqud. Namun demikian, ulama fiqih pada umumnya lebih banyak menggunakan istilah nuqud dan tsaman dari pada istilah lainnya. Dalam tulisan ini, istilah yang sering digunakan adalah nuqud.

Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian nuqud. Al-Sayyid ’Ali (1967, 44) mengartikannya dengan “semua hal yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi, baik Dinar emas, Dirham perak maupun fulus tembaga.” Sementara Al-Kafrawi (1407, 12) mendefinisikannya dengan “segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai media pertukaran dan pengukur nilai”.

Sementara itu, Qal’ah Ji (1999, 23) mengemukakan definisi yang memberikan penekanan pada aspek legalitas di samping juga memperhatikan aspek fungsi sebagaimana definisi di atas. Ia mengatakan, “nuqud adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” Atas dasar definisi ini ia berpendapat, seandainya masyarakat dalam melakukan transaksi menggunakan unta sebagai alat pembayaran, unta tersebut tidak dapat dipandang sebagai uang (nuqud) melainkan hanya sebagai badal (pengganti) atau ‘iwadh (imbalan). Hal itu karena sesuatu yang dipandang sebagai uang harus memenuhi sekurang-kurangnya dua syarat. Pertama, substansi benda tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat; dan kedua, dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang seperti bank sentral.

Walaupun di kalangan ulama cukup populer istilah nuqud untuk pengertian uang, ternyata kata itu tidak ditemukan di dalam al-Qur’an. Untuk menunjukkan uang atau fungsinya, al-Qur’an menggunakan beberapa istilah, antara lain “dirham”, “dinar”, “emas”, dan “perak”. Kata dirham hanya disebutkan satu kali, yaitu dalam QS. Yusuf (12) ayat 20: “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja…”. Dalam ayat ini selain dikemukakan dirham sebagai mata uang dan fungsinya sebagai alat pertukaran, disinggung juga bahwa penggunaan dirham di kalangan masyarakat saat itu berpatokan pada jumlah atau bilangan, bukan pada nilainya.

Sebagaimana dirham, kata dinar hanya disebutkan satu kali, yaitu dalam QS. Ali ‘Imran (3) ayat 75: “Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya…” Ayat ini, selain menyebutkan dinar sebagai satuan mata uang tertentu untuk pengukur nilai, mengisyaratkan pula bahwa uang adalah alat penyimpan nilai.

Mengenai kata emas dan perak cukup banyak ditemukan dalam al-Qur’an. Hal ini nampaknya disebabkan ketika al-Qur’an diturunkan masyarakat banyak menggunakan emas dan perak dalam melakukan kegiatan transaksi. Emas disebutkan pada delapan tempat; di antaranya QS. al-Taubah (9) ayat 34: “…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” Selain mengandung isyarat bahwa emas dan perak adalah satuan mata uang, alat pembayaran dan penyimpan nilai, ayat ini mengandung larangan penimbunan uang karena akan berakibat “mematikan” fungsinya sebagai sarana kegiatan ekonomi.

Ayat lain yang menyebutkan emas sebagai mata uang dan alat pertukaran adalah QS. Ali ‘Imran (3) ayat 91: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu…”.

Sementara itu, kata perak disebutkan enam kali dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah QS. Ali ‘Imran (3) ayat 14: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak…”; dan QS. al-Kahf (18) ayat 19: “…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini…”. Dalam surat al-Kahf ini, kata perak tidak disebut dengan fidhdhah sebagaimana dalam ayat-ayat lain, tetapi dengan kata wariq, yaitu perak yang dicetak dan dijadikan uang.

Sejarah mencatat bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliah telah melakukan kegiatan perdagangan dengan negara-negara tetangga di kawasan utara dan selatan. Hal itu tersirat dalam firman Allah SWT, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas” (QS. Quraisy [106]: 1-2). Ketika pulang mereka membawa uang Dinar Emas dan Dirham perak. Al-Balazdari menuturkan: Dinar Heraclius (Kaisar Byzantin) dan Dirham Baghli dari Persia telah masuk ke penduduk Mekah pada masa Jahiliah. Hanya saja, uang yang mereka gunakan untuk melakukan transaksi jual beli tersebut pada umumnya masih dalam bentuk tibr (butiran, belum dicetak sebagai mata uang). Selain uang, dalam melakukan transaksi mereka menggunakan beberapa macam timbangan seperti mitsqal. 1 (satu) mitsqal berbobot 21 3/7 qirath, dan bobot 10 dirham adalah 7 mitsqal. Bangsa Quraisy menimbang perak dengan timbangan yang disebut dirham dan menimbang emas dengan timbangan yang disebut dinar. Setiap 10 timbangan dirham sama dengan 7 timbangan dinar. Timbangan lainnya adalah sya’irah yang bobotnya sama dengan 1/60 (satu perenampuluh) timbangan dirham; uqiyah adalah 40 dirham; dan nuwat adalah berbobot lima dirham. Mereka melakukan transaksi dengan timbangan-timbangan tersebut dalam bentuk tibr.

Hal senada dikemukakan oleh Al-Maqrizi. Ia menuturkan, “Mata uang yang beredar di kalangan bangsa Arab pada masa Jahiliah adalah emas dan perak, tidak ada yang lain, yang datang dari berbagai kerajaan. Dinar emas Kaisar berasal dari Romawi. Sedangkan menurut maqrizi, dirham perak terdiri atas dua macam, Sauda’ Wafiyah dan Thabariyah ‘Utuq”.

Dirham yang beredar pada saat itu sebenarnya terdiri atas beberapa macam, karena timbangan dirham-dirham itu tidak sama antara satu dengan yang lain. Hanya saja, dirham yang paling terkenal ada dua macam, Dirham Baghli (oleh al-Maqrizi disebut dengan Sauda’ Wafiyah) yang timbangannya adalah 8 (delapan) Daniq dan Dirham Thabari (oleh al-Maqrizi disebut dengan Thabariyah ‘Utuq) yang timbangannya 4 (empat) Daniq. Sedangkan dinar atau mitsqal adalah satuan timbangan yang mereka gunakan untuk menimbang emas. Timbangan mitsqal di kalangan bangsa Arab menurut Al-Qaradhawi (1977, 240) hanya ada satu macam, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain, yaitu sama dengan 1,7 dirham.

Dalam melakukan transaksi orang Arab pada masa Jihiliah menggunakan beberapa macam timbangan yang berlaku di samping Dirham Baghli dan Dirham Thabari; antara lain Rithl (sama dengan 12 Uqiyah), Uqiyah (sama dengan 40 Dirham), Nishsh atau Nasysy (sama dengan setengah Uqiyah, yaitu 20 Dirham), Nuwah (sama dengan 5 Dirham), Daniq (sama dengan seperenam Dirham atau delapan seperlima butir [habbah] kacang sya’ir sedang), Qirath (sama dengan setengah Daniq), dan Habbah (berbobot satu butir kacang sya’ir sedang).

Sebagaimana disinggung di atas, masyarakat Arab pada masa itu dalam menggunakan uang-uang yang ada, baik dinar emas maupun dirham perak, didasarkan pada timbangannya, bukan pada bilangannya, karena uang-uang tersebut tidak sama timbangannya. Atau lebih tepatnya, mereka tidak membeda-bedakan antara (uang) yang sudah dicetak (madhrub), yang sudah dicap (masbuk) dengan yang masih berupa butiran (tibr). Semua bentuk itu mereka gunakan sebagai uang atas dasar bahwa ia adalah emas atau perak, dan tidak mengharuskan telah dibuat dalam bentuk khusus sebagai uang (resmi).

Ketika Islam datang kegiatan dan sistem transaksi ekonomi yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat dengan menggunakan uang-uang yang sudah beredar diakui oleh Nabi SAW. Beliau mengakui uang-uang itu sebagai uang yang sah. Demikian juga, sistem pertukaran barter dan pertukaran dengan barang komoditas tertentu yang diperlakukan sebagai uang (nuqud sil’iyah) seperti gandum, kacang sya’ir dan kurma dibiarkannya sebagaimana sudah berjalan. Sikap Nabi tersebut tercermin dalam hadits Nabi SAW; antara lain: “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam yang (dilakukan antara) satu jenis (disyaratkan harus) sama (beratnya, dan dengan cara) tangan ke tangan. Apabila (yang diperjualbelikan itu) berbeda jenis, lakukanlah jual beli itu sekehendakmu apabila dengan cara tangan ke tangan” (HR. Muslim dari ‘Ubadah bin al-Shamit).

Dari keterangan di atas nampak bahwa uang yang digunakan oleh umat Islam pada masa Nabi adalah Dirham Perak Persia dan Dinar Emas Romawi dalam bentuk aslinya, tanpa mengalami pengubahan atau pemberian tanda tertentu. Menurut Ibnul Qayyim (dalam I’lamul Muwaqqi’in Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, vol.2/hal144), Nabi pun tidak pernah membuat uang khusus untuk umat Islam. Dengan kata lain, pada masa itu, belum ada apa yang disebut dengan “uang Islam”. Uang Islam atau disebut juga dengan Dinar Islam baru dibuat pada masa berikutnya. Menurut para sejarawan, orang yang pertama kali menerbitkan Dirham dan Dinar untuk diberlakukan di negara Islam adalah Khalifah Bani Umayah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 74 H. Sebelum tahun itu, tidak pernah didapatkan baik dalam buku-buku sunnah (hadits) maupun dalam sejarah Nabi (sirah nabawiyah) keterangan tentang Dinar Islam.

Kebijakan Nabi saw untuk tidak menerbitkan mata uang tertentu, selain karena kesibukannya dalam melakukan dakwah dan jihad, nampaknya merupakan siyasah syar’iah (politik hukum Islam). Sebab, seandainya Nabi memerintahkan agar mata uang yang sudah ada (beredar) sebelum berdiri negara Islam tidak dipakai dan menggantinya dengan mata uang Islam, tentu mata uang Islam tersebut tidak akan diterima oleh masyarakat di luar wilayah Islam; dan hal itu akan menyebabkan umat Islam mengalami kesulitan. Orang yang pergi ke Syria atau ke Yaman, misalnya, tidak bisa mempertukarkan mata uang Islam tersebut dan boleh jadi tidak ada orang yang mau melakukan transaksi menggunakannya.

Sungguhpun Nabi tidak pernah membuat uang tertentu untuk umat Islam, mengingat beliau mengakui dan memberlakukan mata uang emas dan perak yang berlaku di tengah-tengah bangsa Arab, sebagaimana dikemukakan di atas, sebagian besar ulama berpendapat bahwa emas dan perak adalah mata uang Islami (naqd syar’i) bagi negara Islam, dan mata uang emas dan perak tersebut adalah nilai atau harga (tsaman) suatu barang. Bahkan pada masa lalu, bila disebutkan kata nuqud (jamak dari naqd, yakni mata uang) atau atsman (jamak dari tsaman, yakni nilai atau harga) maka yang dimaksudkan adalah emas dan perak, sekalipun belum dicetak.

Pada masa Khalifah Abu Bakar, uang yang berlaku pada masa Nabi tetap diberlakukan sebagaimana adanya, tanpa mengalami pengubahan. Hal ini karena perhatian Khalifah terfokus pada penataan sendi-sendi pemerintahan dan memerangi orang murtad yang merupakan prioritas utama, di samping juga karena masa pemerintahannya yang sangat singkat. Khalifah Umar pun pada masa-masa awal pemerintahannya tetap memberlakukan sistem yang telah berjalan pada masa Abu Bakar. Barulah pada tahun 18 Hijriyah atau tahun keenam dari pemerintahannya, ia mulai memasukkan beberapa kata Arab pada uang Persia dan Romawi yang beredar. Ia membubuhkan namanya pada beberapa dirham dan menuliskan beberapa kata Islami, seperti “Bismillah”, “Al-Hamdu lillah”, “Bismi Rabbi”, Muhammad Rasulullah” dan kata-kata serupa lainnya yang menunjukkan simbol Islam; namun demikian, bentuk uang tersebut masih tetap sama dengan bentuk aslinya sebagai uang asing yang memuat simbol-simbol non Islam. Sebelum itu, Umar pernah berfikir untuk membuat dirham dari kulit unta, namun ketika rencana itu disampaikan, ada pihak yang memberi masukan bahwa jika rencana tersebut dilaksanakan, tentu unta akan habis, dan akhirnya Umar batal melaksanakan rencananya. Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar tersebut merupakan langkah pertama dalam rangka pembuatan uang khusus bagi negara Islam (daulah Islamiyah).

Pada masa Khalifah Utsman dan ‘Ali, kebijakan pembuatan uang masih sama dengan apa yang telah dirintis oleh Umar r.a. Lebih dari itu, Utsman membubuhkan kata “Allahu Akbar” pada uang yang berlaku.

Ketika pemerintahan Bani Umaiyah berdiri, pembuatan uang masih tetap mengikuti jejak para penduhulunya, yaitu memberlakukan mata uang Sasani dan Byzantin dengan membubuhi beberapa simbol Islam, seperti nama khalifah, dan membiarkan simbol non Islam pada uang tersebut. Pada masa-masa awal pemerintahan ini pembuatan uang bukan merupakan otoritas pihak tertentu dalam pemerintahan. Selain khalifah, para gubernur dan pimpinan di daerah-daerah pun membuat uang khusus bagi wilayah masing-masing. Abdul Malik bin Marwan pada tahun 74 dan 75 H. membuat dinar emas dalam jumlah terbatas; dan ia dipandang sebagai khalifah pertama yang membuat dinar emas; Al-Hajjaj pada akhir tahun 75 H. membuat dirham sendiri, Dirham Baghli; Abdullah bin Zubair pun melakukan hal yang sama, membuat dirham sendiri dan membubuhkan namanya (Abdullah Amir al-Mu’minin); demikian pula, saudaranya Mush’ab bin Zubair ketika menjadi gubernur Irak membuat dirham khusus (Lihat, Ibnu Khaldun, 463 dan al-Maqrizi,16-19)

Melihat kenyataan seperti itu Abdul Malik bin Marwan melakukan upaya unifikasi mata uang di seluruh wilayah setelah sebelumnya setiap gubernur membuat uang khusus untuk masing-masing. Selain itu, ia pun membuat kebijakan untuk tidak menggunakan mata uang non Islami dan memerintahkan pembuatan uang Islami oleh institusi pemerintah. Pada tahun 76 H. proyek pembuatan uang khusus Islami yang bersih dari unsur dan simbol-simbol asing mulai dilakukan. Sejak saat itu, untuk pertama kali negara dan pemerintah terlepas dari uang asing. Abdul Malik membuat Dirham perak Islami yang pada salah satu sisinya dituliskan surah al-Ikhlas dan pada sisi lainnya dituliskan simbol tauhid; beratnya adalah 6 (enam) Daniq; demikian juga ia membuat dinar perak Islami yang timbangannya adalah satu mitsqal.

Dengan kebijakan tersebut umat Islam telah memiliki uang tersendiri, yaitu uang yang dibubuhi tulisan-tulisan Islami, dan meninggalkan mata uang asing, Dinar Byzantin dan Dirham Persia yang selama ini dipakai. Kebijakan pembuatan uang Islami seperti itu dilanjutkan oleh pemerintah-pemerintah Islam sesudahnya walaupun terdapat perbedaan-perbedaan antara yang satu dengan yang lain dari sisi kualitas bahan, timbangan, bentuk, dan tulisan yang dibubuhkannya. Kondisi demikian terus berlangsung hingga wilayah-wilayah terlepas dari Daulah Utsmaniyah dan menjadi wilayah kekuasaan koloni. Pada saat itu mulailah uang kertas berlaku di hampir semua wilayah Islam.

Uraian di atas menunjukkan bahwa uang yang pernah berlaku di wilayah Islam tidak hanya berupa emas dan perak. Sejarah mencatat bahwa selain uang emas dan perak murni berlaku pula jenis uang lain, antara lain uang emas dan perak campuran (nuqud maghsyusyah), fulus, dan uang kertas.

Nuqud maghsyusyah adalah mata uang emas atau perak yang dicampur dengan logam kualitas rendah, seperti uang emas yang dicampur dengan tembaga atau perak, dan uang perak yang dicampur dengan tembaga. Umat Islam menyebut uang emas dan perak murni dengan “Jiyad” (berkualitas baik) dan uang emas dan perak tidak murni dengan “Maghsyusyah” (campuran). Uang campuran ini terdiri atas tiga macam, Zuyuf, Nabharajah, dan Satuqah. Zuyuf adalah sebutan untuk uang emas dan perak yang sedikit kadar campurannya; Nabharajah adalah sebutan untuk uang emas dan perak yang lebih dominan kadar campurannya, namun terkadang juga digunakan untuk menyebut uang yang tidak dibuat di tempat atau institusi resmi; sedang Satuqah adalah sebutan untuk uang yang bahan utamanya terdiri dari tembaga namun dicampur sedikit perak. (lihat; Ibn ‘Abidin, vol. 5/ 246; dan al-Fairuzabadi, vol 3/154).

Uang campuran tersebut pada mulanya hanya beredar secara terbatas, kemudian beredar secara luas terutama setelah Khalifah al-Mutawakkil memberlakukannya secara resmi. Namun demikian, mata uang emas dan perak murni tetap berlaku sebagai mata uang resmi dan paling banyak beredar. Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keterbatasan persediaan emas dan perak, umat Islam sedikit demi sedikit meninggalkan emas dan perak, beralih menggunakan uang campuran, dan akhirnya menggunakan fulus.

Masyarakat Arab pada masa Jahiliah sebenarnya telah menggunakan uang fulus tembaga dari Byzantin, walaupun dalam jumlah sangat terbatas. Ketika Islam datang, umat Islam pun tetap menggunakannya dalam jumlah terbatas. Bahkan menurut sejarah, Umar bin Khaththab adalah khalifah pertama yang membuat fulus khas Arab pada tahun 18 H. yang sama bentuknya dengan fulus Byzantin, namun dibubuhi nama Umar.

Bukti yang menunjukkan bahwa fulus telah ada dan berlaku di negara Islam pada masa awal adalah fatwa-fatwa sebagian ulama tabi’in (generasi sesudah sahabat) tentang fulus ketika membicarakan masalah-masalah fiqih. Ibrahim al-Nakha’i (w. 96 H.) memberikan fatwa tentang kebolehan melakukan akad salam dengan fulus. Mujahid (w. 102 H) memberikan fatwa bahwa pertukaran satu fulus dengan dua fulus adalah boleh jika dilakukan dari tangan ke tangan. Demikian juga al-Zuhri (w. 124) memberikan fatwa bahwa syarat-syarat sharf (jual beli atau pertukaran uang emas dan perak) berlaku pula pada pertukaran fulus.

Pada masa itu keberadaan uang fulus hanya merupakan uang penunjang yang digunakan untuk melakukan transaksi dalam nilai sedikit, dan bukan merupakan uang utama. Uang emas dan peraklah yang menjadi uang utama di negara Islam. Pada waktu-waktu berikutnya di negara Islam transaksi banyak dilakukan dengan fulus; sehingga fulus menjadi uang yang banyak beredar. Pada abad ketujuh Hijriyah jumlah fulus yang beredar di masyarakat semakin banyak dan menjadi uang yang dominan. Bahkan, pada masa kekuasaan Mamluk dan pada abad ketujuh dan kedelapan Hijriyah, fulus menjadi uang utama (resmi) negara. Gaji pegawai dan pembayaran jasa ditetapkan dan dihitung berdasarkan fulus. Dengan demikian, fulus berubah status dari uang penunjang menjadi uang utama.

Sultan al-Dzahir Burquq (sultan Utsmani, w. 801) pada tahun 781 H. telah membatalkan penggunaan uang perak campuran yang dibuat oleh Sultan al-Dzahir Baibras dan menggantinya dengan fulus tembaga. Bahkan para sultan sangat berlebihan dalam membuat fulus sehingga fulus-fulus itu dijual dengan timbangan Rithl dan tidak memiliki nilai. Akhirnya masyarakat hilang kepercayaan terhadap fulus. Hal tersebut berakibat sangat fatal berupa kehancuran nilai uang.

Mengenai uang kertas sebagaimana dikenal fiat money saat ini dalam bentuk banknote apakah pernah dikenal dan digunakan di negara-negara Islam (pada masa lampau), para ahli berbeda pendapat. Sebagian memastikan bahwa negara Islam tidak pernah menggunakannya, sementara sebagian ahli lain berpendapat bahwa umat Islam telah pernah menggunakannya pada beberapa periode. Kedua belah pihak tersebut mengemukakan argumen untuk mendukung pendapatnya. Wallahu A’lam.

Sejarah Islam di Indonesia

0 komentar
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal…” (QS। Yusuf ayat 111).

Sangat penting mempelajari sejarah dakwah Islam di Indonesia. Sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an ayat 111 bahwa mempelajari sejarah terdapat ibrah (pelajaran). Dengan memepelajari sejarah di masa lampau, kita dapat mengambil pelajaran untuk di masa yang akan datang dibuat perencanaan atau konsep yang lebih baik khususnya untuk dakwah di tanah air kita, Indonesia. Sesuai dengan hadist Rasulullah “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini “.

Bahasa merupakan nilai tertinggi dari suatu peradaban. Suatu bangsa dipengaruhi nilai tertentu jika bahasanya dipengaruhi oleh nilai tersebut. Bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab (bahasa Al-Qur’an) contohnya kata ibarat yang kata dasarnya dari ibrah ini yang bermakna pelajaran dan masih banyak lagi bahasa indonesia yang berasal dari bahasa Arab. Ini membuktikan bahwa budaya Indonesia sudahdipengaruhi oleh budaya islami.

Sejarah masuknya Islam di Indonesia melalui babak – babak yang penting:

1. Babak pertama, abad 7 masehi (abad 1 hijriah).

Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Dai yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sejak awal Islam tidak pernah membeda-bedakan fungsi seseorang untuk berperan sebagai dai (juru dakwah). Kewajiban berdakwah dalam Islam bukan hanya kasta (golongan) tertentu saja tetapi bagi setiap masyarakat dalam Islam. Sedangkan di agama lain hanya golongan tertentu yang mempunyai otoritas menyebarkan agama, yaitu pendeta. Sesuai ungkapan Imam Syahid Hasan Al-Bana “ Nahnu du’at qabla kulla syai“ artinya kami adalah dai sebelum profesi-profesi lainnya.

Sampainya dakwah di Indonesia melalui para pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang sambil membawa dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang Islami. Masyarakat ketika berbenalan dengan Islam terbuka pikirannya, dimuliakan sebagai manusia dan ini yang membedakan masuknya agama lain sesudah maupun sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh masuknya agama Kristen ke Indonesia ini berbarengan dengan Gold (emas atau kekayaan) dan glory (kejayaan atau kekuasaan) selain Gospel yang merupakan motif penyebaran agama berbarengan dengan penjajahan dan kekuasaan. Sedangkan Islam dengan cara yang damai.

Begitulah Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.

2. Babak kedua, abad 13 masehi.

Di abad 13 Masehi berdirilah kerajaan-kerajaan Islam diberbagai penjuru di Nusantara. Yang merupakan moment kebangkitan kekuatan politik umat khususnya didaerah Jawa ketika kerajaan Majapahit berangsur-angsur turun kewibawaannya karena konflik internal. Hal ini dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga yang membina di wilayah tersebut bersama Raden Fatah yang merupaka keturunan raja-raja Majapahit untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yaitu kerajaan Demak. Bersamaan dengan itu mulai bermunculan pula kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya, walaupun masih bersifat lokal.

Pada abad 13 Masehi ada fenoma yang disebut dengan Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah di Indonesia. Wali Songo mengembangkan dakwah atau melakukan proses Islamisasinya melalui saluran-saluran:

* a) Perdagangan
* b) Pernikahan
* c) Pendidikan (pesantren)

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya indonesia, dan juga adopsi dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat menghargai budaya setempat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

* d) Seni dan budaya

Saat itu media tontonan yang sangat terkenal pada masyarakat jawa kkhususnya yaitu wayang. Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan sebelumnya mewarnai wayang tersebut dengan nilai-nilai Islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam pewayangan diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di hadapan Allah dengan dimasukannya tokoh-tokoh punakawam seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Para Wali juga menggubah lagu-lagu tradisional (daerah) dalam langgam Islami, ini berarti nasyid sudah ada di Indonesia ini sejak jaman para wali. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai-nilai Islam.

* e) Tasawwuf

Kenyatan sejarah bahwa ada tarikat-tarikat di Indonesia yang menjadi jaringan penyebaran agama Islam.

3. Babak ketiga, masa penjajahan Belanda.

Pada abad 17 masehi tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda kedaerah Nusantara yang awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya yakni VOC, semejak itu hampir seluruh wilayah nusantara dijajah oleh Hindia Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.

Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para Ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, mengubah pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya.

Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad 13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad melawan kaum kafir yaitu penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:

* Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan Ulama dengan adat contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
* Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.

4. Babak keempat, abad 20 masehi

Awal abad 20 masehi, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi yang sebenarnya adalah hanya membuat lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebenarnya tujuannya untuk mensosialkan ilmu-ilmu barat yang jauh dari Al-Qur’an dan hadist dan akan dijadikannya boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak mungkin pegang oleh lagi oleh orang-orang Belanda. Yang mendapat pendidikanpun tidak seluruh masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu yang pemimpin-¬pemimpin pergerakan adalah berasalkan dari golongan bangsawan.

Strategi perlawanan terhadap penjajah pada masa ini lebih kepada bersifat organisasi formal daripada dengan senjata. Berdirilah organisasi Serikat Islam merupakan organisasi pergerakan nasional yang pertama di Indonesia pada tahun 1905 yang mempunyai anggota dari kaum rakyat jelata sampai priyayi dan meliputi wilayah yang luas. Tahun 1908 berdirilah Budi Utomo yang bersifat masih bersifat kedaerahan yaitu Jawa, karena itu Serikat Islam dapat disebut organisasi pergerakan Nasional pertama daripada Budi Utomo.

Tokoh Serikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto yang memimpin organisasi tersebut pada usia 25 tahun, seorang kaum priyayi yang karena memegang teguh Islam maka diusir sehingga hanya menjadi rakyat biasa. Ia bekerja sebagai buruh pabrik gula. Ia adalah seorang inspirator utama bagi pergerakan Nasional di Indonesia. Serikat Islam di bawah pimpinannya menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan Belanda. Tokoh-tokoh Serikat Islam lainnya ialah H. Agus Salim dan Abdul Muis, yang membina para pemuda yang tergabung dalam Young Islamitend Bound yang bersifat nasional, yang berkembang sampai pada sumpah pemuda tahun 1928.

Dakwah Islam di Indonesia terus berkembang dalam institusi-institusi seperti lahirnya Nadhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Lembaga-lembaga ke-Islaman tersebut tergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah namanya menjadi MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang anggotanya adalah para pimpinan institusi-institusi ke-Islaman tersebut.

Di masa pendudukan Jepang, dilakukan strategi untuk memecah-belah kesatuan kekuatan umat oleh pemerintahan Jepang dengan membentuk kementrian Sumubu (Departemen Agama). Jepang meneruskan strategi yang dilakukan Belanda terhadap umat Islam. Ada seorang Jepang yang faham dengan Islam yaitu Kolonel Huri, ia memotong koordinasi ulama-ulama di pusat dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa yang kurang informasi dan akibatnya membuat umat dapat terbodohi.

Pemerintahan pendudukan Jepang memberikan fasilitas untuk kemerdekaan Indonesia dengan membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dilanjuti dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan lebih mengerucut lagi menjadi Panitia Sembilan, Panitia ini yang merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagram Jakarta merupakan konsensus tertinggi untuk menggambarkan adanya keragaman Bangsa Indonesia yang mencari suatu rumusan untuk hidup bersama. Tetapi ada kalimat yang kontroversi dalam piagam ini yaitu penghapusan “7 kata “ lengkapnya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya yang terletak pada alinea keempat setelah kalimat Negara berdasarkan kepada Ketuhan Yang Maha Esa.

Babak kelima, abad 20 & 21.

Pada babak ini proses dakwah (Islamisasi) di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi dengan pengaruh-pengaruh gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh yang meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka proses Islamisasi di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awalnya masuknya Islam yang secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yang perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan terkuat. Walaupun demikian Allah mentakdirkan di Indonesia merupakan jumlah peduduk muslim terbesar di dunia, tetapi masih menjadi tanda tanya besar apakah kualitasnya sebanding dengan kuantitasnya.

Pengertian Westernisasi

0 komentar

Definisi dari westernisasi adalah suatu perbuatan seseorang yang mulai kehilangan jiwa nasionalismenya, yang meniru atau melakukan aktivitas bersifat kebarat-baratan (budaya bangsa lain). Westernisasi sudah berkembang di masyarakat luas. Dan hal ini menuntut kita untuk mawaspadai manakah yang bisa diterima dan mana yang tidak perlu diikuti. Sebagai mahasiswa dan kaum terpelajar, kita wajib menyaring gaya hidup bangsa lain yang masuk mempengaruhi bangsa kita, terlebih lagi yang tidak sesuai dengan budaya bangsa timur.

Westernisasi memberi dampak positif maupun dampak negatif.

Pengertian Modernisasi

0 komentar

Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Pengertian modernisasi berdasar pendapat para ahli adalah sebagai berikut.

a. Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis.

b. Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar)

Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis besar istilah modern mencakup pengertian sebagai berikut.

a. Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya tarat penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.

b. Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut.

a. Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.

b. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.

c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.

d. Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.

e. Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.

f. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.

Selasa, 01 Maret 2011

Music Player

0 komentar

Free Indo Flash Mp3 Player at musik-live.net

Kamis, 07 Mei 2009

Terima kasih guru ku

0 komentar
terima kasih guruku kau telah membimbing ku sehingga aku bisa menguasai berbagai ilmu yang kau berikan, dahulu aku tidak pernah ta,u, dan tidak pernah mengoprasikan internet namun kini aku dapat melakukannya, aku akan berusaha semoga aku dapat membalas kebaikan mu, semoga....

terimakasih guruku...